Siang
itu adalah pertemuan pertamaku dengan pria aneh keras kepala itu. Saat itu
mungkin karena mengantuk dan suasana taman apartemen yang mendukung untuk tidur
siang, aku jatuh tertidur. Bodohnya saat aku terbangun, aku menyadari aku tertidur
dengan kepalaku berada di pangkuan seseorang yang tak ku kenal. Dengan sangat
malu aku pun minta maaf dan buru-buru hendak beranjak dari taman itu. Astagaaaah... Malunyaaaa...
“Ah…
Maaf... Sa saya jatuh tertidur tadi. Mohon maaf… Lebih baik saya pergi saja dan
tidur di kamar… Sekali lagi maaf… Permisi…” dengan canggung dan pipi memerah
aku berniat kabur dari situ.
“Tunggu
sebentar,” pria tinggi kurus itu mencegahku pergi dengan menarik tanganku,
“Siapa namamu?” Dari matanya aku merasakan aura dingin pembunuh.
“Na
nama ssaya? Siti…” aku sudah benar-benar ingin pergi dari situ namun tangannya
masih mencengkeram erat pergelangan tanganku.
“Hmmm…
Siti ya? Nama lengkapnya? Siapa nama lengkapmu?!”
“Ssiti…
Siti Mazidah…” sumpah yaa ini cowok,
annoying banget….
“Aku…
emmm.. Namaku Hadi… HADI…!. N.O.H…. Ingat itu!” ia pun melepaskanku.
Hiiiih. Gak mungkin itu nama
aslinya, pikirku. Setengah berlari aku pun menuju ke
apartemenku. Setelah di kamar aku baru menyadari mengapa aku bisa segitu
ngantuknya: buku yang aku bawa adalah novel sejarah peperangan nasional.
Hoaaahmm.. Melihat judulnya sekali lagi saja sepertinya berhasil membuatku
ngantuk kembali.
*****
Aku
sebenarnya baru pindah ke apartemen di bulan ini karena aku diajak untuk
tinggal disitu bersama salah satu tanteku. Tanteku yang membayar uang sewa
apartemennya, aku benar-benar cuma numpang karena beliau justru marah jika aku
mau ikut bayar sewa.
“Sudahlah
Siti! Tante gak suka kamu mau ikut bayar sewa! Kan udah dari awal dibilangin,
tante hanya butuh ditemanin, bukan dibayarin. Lagian kan tante lebih mampu
daripada kamu, tante sudah lumayan mapan.” Hari ini pun aku diomeli lagi hehe.
“Iya
tante… Maafin Siti…”
“Tuh
kan, kamu itu kebanyakan minta maaf deh. Jangan gitu ah, ntar kamu bisa di cap
lemah sama orang lain. Ayo kita jogging, di sekitar kolam ikan dekat taman
depan aja.”
Maka
pagi itu aku dan tanteku yang cantik itu lari pagi bersama. Saat kami sedang
pemanasan di depan kolam, tiba-tiba ada seorang cowok melambaikan tangannya ke
arahku.
“SITIIIII!!!”
cowok itu beranjak berdiri dari kursi taman.
“Itu
kenalanmu, ti?” tante bertanya.
“Gak
tau juga tante, siti ingat-ingat dulu….” Siapa dia yaa kayaknya pernah lihat.
“SITIIII!!
Aku belum balas dendam!” Cowok itu sekarang berlari ke arahku. Lari
sekencang-kencangnya. Saking kencangnya ia lari, aku sampai kaget dan takut
sehingga refleks aku pun berlari juga menghindarinya. Namun gak sampai 1 menit
dia sudah mencengkeram tanganku. Sekarang aku ingat, kemarin aku juga
dicengkram orang ini: Hadi.
“Aku
belum balas dendam!” Ia berkata begitu serius, tajam dan tanpa basa-basi.
“A…
Apa maksudmu? Kita kan baru ketemu kemarin! Aku gak kenal kamu!”
“Iya.
Kita memang baru kenal kemarin. Tapi kamu sudah membuatku menderita selama 3
jam karena kamu ketiduran! Aku harus balas dendam! Kau harus merasakan gak
enaknya.”
Aku
teringat saat kemarin aku membuka mata dan tau-tau berada di pangkuan cowok
keras kepala ini. Jangan jangan waktu itu aku tertidur sepenuhnya selama TIGA
jam?! Gawat. Pasti dia marah banget. Trus aku musti gimana dong ini….
“Buat
aku tertidur juga! Sekarang!” dia menggiringku ke pojok taman di bawah pot-pot
besar bunga bougenville. Hhhh… Baiklah. Cowok ini ternyata manja seperti anak
kecil. Dia hanya ingin tidur siang di pangkuan seseorang. Sialnya, aku lah yang
sekarang harus menjadi seseorang ini. Hhhhh.
“Aku
hanya punya waktu 2 jam sekarang,” kataku tak kalah dingin sambil duduk
selonjor bersandar pada pot besar bunga kertas. Cowok kurus berkulit putih itu
pun tanpa ba-bi-bu langsung menempatkan kepalanya di pangkuanku dan terpejam. Haisssh.
Gak sopan banget. Ngomong apa ke gitu.
Dengan sebal aku pun hanya main handphone untuk mengusir rasa bosan.
Belum
sampai satu jam, kira-kira baru 50 menit, dia sudah membuka matanya. Dia
mengambil salah satu tanganku lalu ia tekankan ke dadanya sendiri. Aku bisa
merasakan debar jantungnya yang anehnya sangat cepat sekali. Benar-benar
berdetak dengan sangat cepat. Jangan-jangan sekarang dia kena serangan jantung!
Atau hipertensi saking marahnya… Gimana ini….
“Kamu
sudah rasakan? Jantungku berdetak begitu kencang. Aku tidak bisa tidur
sedikitpun. Kemarin pun begitu, saat kau tertidur di pundakku. Semakin
memikirkannya, aku semakin berdebar entah mengapa.” Dia berkata begitu sambil kembali
menutup mata dan tanganku masih dipengangnya.
“A…Aku
tidak mengerti. Kamu bilang aku tertidur di pundakmu? Bukannya aku tertidur di
pangkuanmu? Dan mengenai masalah jantungmu itu aku…. Aku tidak mengerti apa
hubungannya.”
“Hahahaha.
Gadis bodoh! Kau tertidur begitu saja di pundakku! TIGA JAM!! Bisa bayangkan
betapa sakitnya pundakku!”
“Kenapa
kau tidak bangunkan saja aku!”
“Ya?
Benar juga… Kenapa aku tidak bangunkan saja kamu?” Kini dia tersenyum dan
tanganku yang masih di dadanya itu merasakan detak jantungnya semakin keras.
“A…Aku
pergi saja sekarang yaa… Kamu sudah tidak mengantuk kan?” Aku melepaskan
pengangan tangannya. Ia pun bangkit dari pangkuanku.
“Baiklah,
pergi saja. Lain kali saja aku menagihnya.”
Sambil
berjalan pulang, aku berpikir ada apa dengan cowok aneh itu, kemudian berdoa
mudah-mudahan aku tidak akan mengalami kejadian aneh seperti ini lagi. Aku
menghampiri tanteku dan mengajaknya pulang saja.
“Oh..
Udahan pacarannya?”
“Hwappaaaah?!
Siapa? Aku? Sama dia? Bukan tante! Bukan!!!!”
“Hahahaha,
biasa aja sih… Gak usah malu. Tadi mesra banget, tidur di pangkuanmu, trus
tanganmu diletakkan dijantungnya. Heheheh. Maaf tante gak sengaja liat kok
sambil lewat jogging kan…”
“Tante!!!
Ah… Sudahlah….”
Dengan
gondok aku memandang ke arah si cowok aneh yang mengaku bernama Hadi itu. Dia
masih duduk bersandar di pot bunga sambil terus menatap tanpa berkedip ke
arahku. Freak!!! Jangan-jangan dia adalah penjahat atau pembunuh… Hiiiiiy…
*****
Aku
sedang menjemur baju di balkon apartemen. Sambil menjemur baju aku melakukan
sedikit senam peregangan. Aku berdiri dengan kaki kanan lalu kaki kiri aku
naikkan ke pagar balkon, setelah itu aku mencium lutut kiri dan kanan
bergantian masing-masing 10 detik. Aku memang suka sekali olahraga, bahkan dulu
aku pernah menjadi anggota perguruan bela diri. Tiba-tiba hapeku berdering dan
menunjukkan nomor tak dikenal.
“Assalamu’alaikum..
Hallo?”
“Mmmm…Hallo…”
suara cowok.
“Ya?
Siapa yaa?”
“Aku
tau apa yang kau lakukan di balkon saat ini.”
“Heh!!
Siapa ini hah?!!”
“Hehh!!!
Masa’ kau tidak hapal suaraku!! Aku saja hapal suaramu!”
“Siapa
sih ini?! Rese’ banget!!!”
“Hehh!!!
Cewek bodoh!! Mestinya kamu nanya ‘kok bisa tau aku ngapain di balkon’ gitu
dong!”
“Baiklah:
kok bisa sih kamu tau aku ngapain di balkon? Puas?”
“Hehehehe,
coba liat balkon di seberang balkonmu. Aku disitu.” Sesaat aku merasa merinding
seperti punya firasat buruk. Ternyata benar, itu si cowok freak: Hadi.
“Astagfirullah!!!
Hehh Cowok Freak!! Ngapain sih kamu ngintip-ngintip ke balkon orang!”
“Mana
ku tahu kalau seberang balkonku itu balkonmu!! Aku tadi Cuma mau cari sinyal
buat nelpon kamu! Aku mau ngajak kamu dinner, MALAM INI!! Jangan nolak! Karena
kamu masih punya utang budi sama aku yang rela kesakitan bahunya demi kamu
jadikan bantal!!”
“Heh!
Hadi!! Halooo!!!” Sial, dimatikan!! Dari sini aku bisa melihat ke balkonnya,
lagi-lagi ia sedang menatapku lekat-lekat tanpa kedip! Dan kali ini sambil
senyum-senyum!!!! Astagfirullah, aku baru sadar, aku sedang tidak pakai jilbab!
Buru-buru aku ambil handuk di jemuran dan kujadikan penutup rambutku. Aku
segera masuk ke dalam dan tak lupa aku tutup semua pintu dan tirai.
*****
Aku
baru selesai sholat Maghrib ketika aku mendengar bel dan ketukan dari pintu.
Mungkin tante lupa bawa kunci, pikirku. Maka masih dengan mengenakan mukena,
aku pun melesat dan membukakan pintu.
“Hadi!!!?
Ngapain kamu kesini hah! Sana!” Aku pun menutup pintu dan menguncinya. Begitu
aku merasa aman dan mau balik ke kamar lagi, tiba-tiba aku mendengar suara
pintu terbuka. Dan di pintu sudah berdiri Hadi yang nyengir lebar sambil menunjukkan
kunci.
“Percuma
kau mengunci, aku punya semua kunci unit apartemen ini karena….”
“TOLOOOOOOOOOOOONG!!!!!!!!!!!!!!”
Aku menjerit sekuat tenaga. Dengan sangat kaget ia melesat masuk dan mendekap
mulutku.
“Cewek
bodoh!!! Ntar kalo disangka aku maling gimana haah?!”
“MMMMMMMMMMMMMMMMM”
memang!! Dasar cowok freak!!!
“Baik…
sudah.. diam!! Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu! Jangan ge-er! Dasar cewek
bodoh!”
“MAU
APA KAMU KESINI HAH?!! DASAR COWOK FREAK!!!”
“Aiiish!!
Sudah diam dulu!! Aku jelasin!! Pelan-pelan oke? Aku sendiri bingung mau
jelasin dari mana… Sudah! Tenang! Aku tak punya maksud buruk sama sekali.” Kali
ini dia garuk-garuk kepala kebingungan.
Setelah
aku tenang dan dia kupersilakan duduk di ruang tamu, ia pun bercerita mengenai
dirinya. Ia adalah pemilik apartemen ini sehingga wajar ia punya kunci semua
unit, dan tau nomor hapeku. Malam ini ada undangan dinner rekan pengusaha di
suatu restoran dan ia memintaku untuk menghadirinya juga bersama dia. Dia
menjelaskan betapa susahnya terus menerus dicecar dengan pertanyaan seputar
jodoh. Dia memang baru berumur 30 tahun namun menurutnya semua rekan bisnis
akan mencecarnya bahkan berusaha menjodoh-jodohkan dengan kerabat mereka.
Intinya dia ingin AKU pura-pura menjadi pacarnya.
“Gak
mau! Dan kenapa aku harus mau?!”
“Kamu
masih punya hutang 3 jam bersandar di bahuku!”
“Astaga!!
So childish!!” Aku menggeleng prihatin…
“Kamu…
Apa yang kamu kenakan ini?” ia menunjuk mukenaku.
“Ini
namanya mukena, alat sholat muslimah. Ah? Hadi? Aku curiga nama HADI itu bukan
nama aslimu. Kamu bukan muslim?”
“Baiklah
aku mengaku. Namaku Alexander. Aku Kristen protestan. Kau muslim ya? Pantas kau
mengenakan penutup rambut eh jilbab kemanapun. Padahal tadi waktu aku lihat di
balkon, rambutmu…”
“Sudah!
Jangan mengingat-ingat! Bayangkan saja aku tak punya rambut oke! Itu hanya
kecelakaan, dan mulai detik itu aku akan berjilbab kemanapun. Apalagi kau punya
akses ke unitku.”
“Baiklah.
Terserah saja. Ah iya… Ini gaun untuk kau kenakan nanti. Acaranya jam 9. Ayo
cepat sana ganti pakaian dan berdandan. Kita harus pergi sekarang kalau tak mau
telat karena macet.”
“Apaa?
Gaun? Jangan bilang ini gaun ketat transparan dengan rok mini dan juga tanpa
lengan. Aku gak mau pake yang begituan.”
“Bukan.
Aku tau kau berjilbab, jadi aku tadi pesan gaun malam berlengan panjang. Roknya
juga panjang. Warnanya juga tidak transparan.” Ia pun membukakan bungkusan itu
dan ternyata memang benar. Gaun panjang yang indah, warna hijau pastel
kesukaanku.
“hhhh..
Oke, berarti setelah aku menemanimu dinner mala mini, utangku lunas? Pokoknya
aku gak mau berurusan dengan cowok freak seperti kamu lagi.” Gerutuku sambil
berjalan ke kamar.
“Siapa
juga yang mau…” dia ikut beranjak dari kursi.
“Heh!
Aku mau ganti pakaian! Jangan ikut!!!”
“Santai
dong!! Aku gak punya kunci kamar kok! Tenang aja! Aku Cuma mau ke kamar mandi.
Kan aku juga harus berdandan.” Hhhhh..
Freak dan pesolek!
Selesai
berdandan aku pun segera keluar kamar, Hadi eh Alex sudah rapi dengan jas nya.
Dan dengan agak merinding lagi-lagi aku mendapati ia sedang menatapku tanpa
berkedip sambil tersenyum. Kali ini tersenyum lembut.
*****
Jamuan
makan malam di restoran bintang lima memang luar biasa. Tapi aku harus
hati-hati dan bertanya apakah hidangan tersebut halal. Sepertinya rekan bisnis
Alex banyak yang non-muslim, bahkan aku sekarang baru sadar bahwa aku menjadi
pusat perhatian karena aku satu-satunya yang mengenakan jilbab.
“Mmm,
Alex…” aku berbisik pelan.
“Ya?
Kenapa?” ia membalas dengan lembut. Aneh.
“Kita
eh aku pulang aja ya? Liat deh pandangan mereka ke aku. Aku gak suka…”
“Sttt…
Tenang, sayang. Bentar lagi ya…” aku agak merinding mendengar ia menyebutku
sayang. Apalagi melihat ia tersenyum lembut dengan pandangan mata yang begitu
menenangkan. Aku jadi agak merenung, apakah ia sedang menunjukkan sayangnya
padaku atau hanya berakting.
Sepuluh
menit kemudian kami sudah berada di mobil menuju apartemen.
“Maaf
Alex. Kamu jadi harus pulang secepat ini…” agak takut aku melihatnya diam.
“Gak
papa. Aku justru senang bisa pulang cepat.”
“Berarti
hutangku lunas? hehehe” aku tersenyum jahil.
“Enak
saja! Hutangmu justru bertambah, gaun itu kan mahal.”
“Jadi
sekarang utangku nambah berapa miliar, bapak Alexander yang terhormat? Hihihi”
Perjalanan
pulang menembus rimba Jakarta yang senantiasa macet pun menjadi tak terasa
karena kami terus bercanda dan bercerita macam-macam. Ah entahlah hanya
perasaanku saja atau bagaimana, kini setiap ia melihatku ia akan langsung
menatap mataku dan tersenyum dengan lembut.
*****
“Ke taman sekarang! Aku punya buku bagus
yang perlu aku diskusikan ke kamu :-)”
Aneh,
setelah kejadian semalam aku pikir aku bakal terbebas dan tidak berurusan lagi
dengan dia. Sekarang dia malah sms aku untuk segera datang ke taman. Bahas buku? Modus!!! Hahahaha. Bukannya ge-er, tapi aku udah sering mendapatkan
bermacam-macam modus pedekate yang aneh-aneh mulai dari telepon salah sambung
sampai pura-pura meeting bisnis.
“Siti!!
Buruan ke sini!!” dia langsung menghampiriku dan mencengkeram tanganku (lagi!)
begitu aku tiba di taman. Hobi sekali dia mencengkram tangan orang. Grrrr…
“Apa
sih! Pelan-pelan dong…” aku melepas cengkramannya dan mengelus pergelangan
tanganku yang membekas merah.
“Ah,
maaf, sakit ya? Luka tidak? Keseleo? Maaf, aku tadi terlalu excited… hehehe” dasar sinting…
Mataku
langsung terpaku melihat buku-buku yang ia
bawa. Semuanya tentang belajar agama islam. Jangan bilang dia tertarik menjadi
seorang muslim? Alhamdulillah kalau iya… Mendadak aku pun tersenyum sendiri
memandanginya.
“Idih,
sekarang senyum-senyum sendiri dia…”
“Ah,
iya maaf… Itu semua buku kamu? Tentang islam? Kenapa?”
“Aku
tertarik dengan agamamu. Yaaah, sebenarnya aku gak terlalu alim di agamaku, gak
pernah ke gereja, bahkan gak ingat hari besarnya apa aja. Pas kemarin kamu
jelasin bahwa kamu muslimah, aku jadi pengen tau apa itu islam. Ternyata jauh
lebih menarik daripada apa yang aku duga. Aku pengen kamu bantu aku.”
“Bantu
apa?”
“Bantu
jelasin sedikit-sedikit tentang islam.”
“Misalnya?”
“Kenapa
kamu pake jilbab terus? Apa aku gak boleh lihat rambutmu lagi? Tapi aku sudah
pernah lihat sekali pas di balkon itu kan?”
“Kalau
gak sengaja yaa mau gimana lagi. Tapi dalam agamaku itu memang ada perintah
untuk mengenakan penutup rambut dan mengenakan pakaian tertutup bagi wanita.
Maksudnya agak kami terpelihara dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti
pelecehan dan sebagainya.”
“Siapa
saja yang boleh lihat kamu gak pakai jilbab? Atau jangan-jangan semua orang gak
boleh? Serem amat.”
“Hahahaha.
Nggak lah. Keluargaku: Bapak, kakak, adik, boleh melihatku tanpa jilbab.
Suamiku dan anakku nanti juga boleh melihatku tanpa pakai jilbab.”
“Hmmmm.
Berarti kalo aku mau liat kamu gak pake jilbab, cuma mungkin kalau aku jadi
suamimu ya? Kalau jadi pacar gitu, boleh gak?”
“Gak
ada pacaran dalam islam. Kalau memang sudah saling sayang dan cinta yaa nikah
saja. Ikatan suci yang halal dan insyaAllah berkah”
“Aku
mau jadi suamimu.” Aku terdiam, lalu tertawa.
“Ih,
serius!! Aku mau jadi suamimu.”
“Seumur
hidup?”
“Seumur
hidup.”
“Apapun
syaratnya?”
“Apapun
syaratnya.”
“Bagaimanapun
tidak bahagianya?”
“Gak
mungkin. Pasti bahagia!” Dia tersenyum dan kini aku yang terdiam.
“A…Aku…
Entahlah.. Sejak pertama kau tertidur di pundakku… I’m Accidently in love with
u. Aku berusaha untuk tidak menghubungimu, namun namamu lah yang terpikir
pertama kali saat aku mau dinner kemarin. Mungkin agak susah yaa kalau harus
nikah beda agama tapi…”
“Nggak!
Aku gak mau nikah beda agama. Maaf.”
“Tapi
aku mencintaimu.”
“Aku
lebih mencintai Allah, Tuhan-ku. Apapun yang diperintahkan akan aku jalani.”
“Kalau
begitu aku juga akan berusaha mencintai Tuhan-mu. Ajarkan aku tentang islam.
Aku ingin masuk islam.”
“Kau
ingin masuk islam karena keinginanmu sendiri?”
“Ya.”
“Bukan
karena ingin menikahiku?”
“Ya.”
“Jadi
kalau misalnya tiba-tiba aku tetap tidak bisa menikah denganmu, kamu masih akan
tetap memeluk agama islam?”
“Ya.
Aku ingin belajar mencintai apa yang kau cintai.”
Sebutir
embun seakan membasahi hatiku dan meleleh di mataku. Tak pernah terpikir bahwa
aku mampu membawa seseorang kedalam pelukan agama islam. Siang itu juga ia aku
bawa ke masjid dan kukenalkan dengan salah seorang ustadz yang akan mengajarkan
ia tentang agama islam serta menuntunnya bersyahadat. Aku bilang padanya, jika
ia ingin bertemu lagi denganku maka ia harus mengetahui banyak hal tentang
agama islam. Jika ia ingin menikah denganku, ia harus siap menjadi imam bagi
kehidupanku kelak. Maka aku pun menitipkan Alex yang kini bernama Hadi (aneh
yaa?) pada pak ustadz untuk diberikan pembekalan agama islam.
Sehari.
Dua hari. Seminggu. Dua minggu sudah aku tidak mendengar kabar dari Hadi.
Balkonnya sepi, dan aku tak berani (tak akan pernah berani) untuk menelpon
ataupun mengirim sms padanya. Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk padanya,
dan semoga ia benar-benar bisa mencintai agama ini.
*The End*
-
cerpen gantung ini dibuat 28/09/2012
(woooow, ternyata lumayan juga cerpenku gyahahaha,,, etapi aku baca sendiri jadi ketawa sendiri. narsis amat cerpen pake nama sendiri... antara narsis dan gak ada ide wakakakaka....)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar